Pengalaman Sani Menulis Buku “Dilema Perempuan Adat”

Sani Hafiyyani Putri atau kerap disapa Sani merupakan salah satu mahasiswi RPL 2023 Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial, Hukum, dan Ilmu Politik, Universitas Negeri Yogyakarta. Sani juga dikenal aktif sebagai aktivis feminisme di Daerah Istimewa Yogyakarta. Banyak kegiatan yang berkaitan feminisme dan kesetaraan gender sudah didatanginya. Tahun ini bersama temannya ia telah menghasilkan buku berjudul “Dilema Perempuan Adat” yang rilis pada 25 Maret 2024.

“Dilema Perempuan Adat” merupakan buku pertama hasil tulisnya bersama teman dekat. Vita yang saat ini berkuliah di Universitas Negeri Malang merupakan teman semasa duduk dibangku SMA, keduanya sama-sama aktivis yang kerap menyuarakan feminisme dan kesetaraan gender. Ketertarikan Sani dalam menulis di awali oleh Avita yang menawarkan untuk ikut bergabung menulis buku. Dengan latar belakang sesama aktivis feminisme dan kesetaraan gender, mereka bertekat dan bekerja sama untuk menyelesaikan buku yang ditulis.

Perempuan berumur 23 tahun ini, menjatuhkan pilihannya untuk mengangkat Perempuan Adat sebagai pembahasannya dengan alasan yang besar di belakangnya. Perempuan Adat sendiri didefinisikan sebagai perempuan yang tinggal pada sebuah hutan adat, di mana mempunyai adat tersendiri yang masih dipertahankan dan diwariskan. Subjek dan objek penulisannya merupakan daerah yang bernama Kendeng. Kendeng sendiri merupakan sebuah Pegunungan kapur yang membentang di bagian utara Pulau Jawa. Pegunungan Kendeng mencakup dua provinsi yakni Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Dalam buku “Dilema Perempuan Adat”, digambarkan sesosok Kartini Kendeng yang mempunyai istilah Sedulur Sikep atau Kaum Samin. Kehidupan yang dijalani berbasis Agraria atau petani yang mempunyai adat menghargai bumi. Pada buku ini perempuan lebih mendapatkan highlight yang sangat kentara.

Mengapa hal tersebut terjadi?

Karena, perempuan dan bumi sama-sama mempunyai peran penting dalam keberlangsungan peradaban. Diibaratkan seperti pohon yang bisa menghidupi, maka perempuan bisa bereproduksi untuk menghasilkan keturunan. Sehingga kehidupan peradaban akan terus berjalan. Tidak sampai di situ, perempuan mempunyai banyak tuntutan. Seperti tuntutan memasak, mengurus anak, bahkan tak segan untuk mencari nafkah. Dengan kata lain perempuan mempunyai tuntutan besar untuk selalu memberikan yang terbaik bagi keluarganya. Sehingga perempuan dan alam tidak dapat dipisahkan. Hal itu yang membuat perempuan selalu mendapatkan posisi khusus.

Tak hanya sampai di situ, buku karya mahasiswi Lulusan D3 Public Relations UNS tersebut juga membahas mengenai isu lingkungan di Pegunungan Kendeng yang berkaitan dengan Kartini Kendeng. Para petani dan perempuan Kendeng, sebetulnya bisa hidup mandiri. Tetapi karena ada kemunculan pembuatan tambang di wilayah tersebut, memberikan efek yang sangat berpengaruh bagi masyarakatnya. Bentuk besar dampak yang dirasakan ialah rusaknya tanaman dan kualitas tanah, sehingga hasil panen yang dihasilkan tidak sebaik sebelumnya.

Pegunungan Kendeng sendiri terdiri atas batuan kars. Batuan ini mempunyai fungsi melindungi mata air. Jumlah mata air yang ada pada Pegunungan Kendeng ini ada 104 mata air. Dengan pembangunan tambang yang terus merajalela, tanpa memperhatikan keseimbangan lingkungan. Pegunungan Kendeng kerap dilanda longsor semenjak adanya pembangunan tambang pada wilayang tersebut. Apabila mata air hancur dan rusak, maka daerah tersebut tidak bisa mendapatkan sanitasi yang baik. Padahal sanitasi air mempunyai peran dan fungsi yang besar dalam kehidupan manusia. Hal yang menonjol dari isu (hutan adat) ialah banyaknya aktivis yang diperkusi oleh pihak-pihak tidak bertanggung jawab. 

Isu tersebut diangkat penulis karena belum ada penulis yang terketuk hatinya untuk membahas.  Ditambah hanya ada satu peraturan hukum yang mengatur hukum adat, dengan kata lain dalam jalur hukum peradilan hal ini kurang membantu. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah menyuarakan. Dengan harapan perjuangan yang dilakukan dapat tersampaikan, didengarkan, dilakukan pergerakan, dan perubahan yang menjadikan lingkungan lebih baik dan adil bagi masyarakat adat.

Penulis buku menyampaikan bahwasannya, “teman-teman harus membaca buku ini, untuk mengetahui apa hubungan perempuan dengan alam.” Tidak hanya itu saja, dalam buku tersebut juga menjelaskan mengapa hal-hal yang dibahas mempunyai sisi penting, mengapa mendapat highlight, dan mengapa adanya larangan untuk membangun tambang di daerah Kendeng.

Dalam menulis tentu ada tantangan yang dirasakan, bahkan tidak terbilang kecil. Dua penulis yang sama-sama sedang berkuliah ini memiliki kegiatan lain yang tidak dapat ditinggalkan. Karena membahas mengenai pegunungan yang di dalamnya terdapat struktur batuan dan tanah, memberikan tantangan tersendiri bagi penulis karena berlainan dengan latar belakang studi yang dijalani.

Penulis : Ayu Puspita


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *